Laporan
Pendahuluan
Demam Thypoid
A.
Pengertian
Demam thypoid
(enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Nursalam dkk., 2005, hal
152).
Demam thypoid
merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran (Rampengan, 2007).
Demam thypoid
adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi salmonella typhi
(Ovedoff, 2002: 514).
B.
Etiologi
Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri salmonella thypi. Bakteri
salmonella typhi adalah berupa basil gram negatif, bergerak dengan rambut
getar, tidak berspora, dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O
(somatik yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H
(flegella), dan antigen VI. Dalam serum penderita, terdapat zat (aglutinin)
terhadap ketiga macam antigen tersebut. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan
fakultatif anaerob pada suhu 15-41°C (optimum 37°C) dan pH pertumbuhan 6-8.
Faktor pencetus lainnya adalah lingkungan, sistem imun yang rendah, feses,
urin, makanan/minuman yang terkontaminasi, fomitus, dan lain sebagainya.
C.
Manifestasi klinis
Menurut
ngastiyah (2005: 237), demam thypoid pada anak biasanya lebih ringan daripada
orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul
gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten
dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik
setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang
terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat
mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan pada punggung
dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena
emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam,
kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.
4. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam thypoid, akan tetap
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan
baik oleh obat maupun oleh zat anti.
D.
Patofisiologi
1. Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan
oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon
imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella akan
menembus sel-sel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina propia dan
berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar
getah bening mesenterika.
2. Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika
mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia)
melalui ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotalial
tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari
usus.
3. Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan
sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa
(splenomegali). Di organ ini, kuman salmonlla thypi berkembang biak dan masuk
sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai
tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskuler, dan gangguan mental koagulasi).
4. Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis
ini dapat berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan
perforasi usus. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan
dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik
kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama
timbulnya penyakit, terjadi hyperplasia plak peyeri. Disusul kemudian, terjadi
nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak peyeri pada minggu ketiga.
Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus dengan
meninggalkan sikatriks (jaringan parut).
Sedangkan
penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly(lalat), dan melalui Feses.
E.
Komplikasi
1. Komplikasi
intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi
extra intestinal
a.
Komplikasi kardiovaskuler
: kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
b.
Komplikasi
darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
c.
Komplikasi paru
: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada
hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
e.
Komplikasi
ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f.
Komplikasi pada
tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g. Komplikasi
neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
F.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam
beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan
darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu
berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau
dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien,
antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
4. Uji widal
Uji widal
adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen VI (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga
aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
G.
Terapi dan pengobatan
1. Perawatan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi
bila ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan
dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3. Obat-obatan
Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit thypoid. Waktu
penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Antibiotika, seperti
ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim sulfamethoxazole, dan ciproloxacin
sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat
antibiotik adalah
a. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4
kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
b. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol, diberi ampisilin
dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian intravena saat
belum dapat minum obat, selama 21 hari.
c. amoksisilin amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari.
d. kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari.
e. Pada kasus berat, dapat diberi ceftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali
dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena,
selama 5-7 hari.
f. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
Bila tak
terawat, demam thypoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan.
Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk
demam thypoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke
wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin).
Pengobatan
penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi
nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg
BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan
dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian.
Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.
H.
Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa
medik.
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan
kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke
dalam tubuh.
d. Riwayat
penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah
saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama
sekali.
2) Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.
Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan
suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga
dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak
terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit
anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
7) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah
sakit dan klien harus bed rest total.
8) Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410C,
muka kemerahan.
2) Tingkat
kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3) Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
4) Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
5) Sistem integumen
Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
6) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
7) Sistem
muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8) Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung
serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
2. Diagnosa keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan
dengan proses peradangan usus halus
b. Kurangnya volume cairan berhubungan
dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang
kurang (mual, muntah)
c. Gangguan pola eliminasi berhubungan
dengan proses peradangan pada usus halus
d. Perubahan
nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia
e. Intoleransi aktivitas terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam
hal nutrisi, eliminasi, personal hygiene berhubungan
dengan kelemahan dan imobilisasi
f. Gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
g. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri, demam
h. Pola napas tidak efektif
berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, dispnea.
i. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
j. Kelemahan
berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring
k. Kecemasan orang tua berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan kondisi anaknya.
3. Implementasi
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan
dengan proses peradangan usus halus
Tujuan : suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil ;
1) Tidak demam
2) Tanda-tanda
vital dalam batas normal
Intervensi:
1) Observasi
tanda-tanda vital terutama suhu tubuh tiap 2 – 4 jam.
R/: Mengetahui keadaan umum pasien
2) Berikan kompres
dingin.
R/: Mengurangi peningkatan suhu tubuh
3) Atur suhu
ruangan yang nyaman.
R/: Memberikan suasana yang menyenangkan dan menghilangkan ketidaknyamanan.
4) Anjurkan untuk
banyak minum air putih
R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi
dengan asupan cairan yang banyak
5) Kolaborasi
pemberian antiviretik, antibiotik
R/: Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik
menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri
b. Kurangnya volume cairan b/d peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral
yang kurang (mual, muntah)
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Tidak mual
2) Tidak demam
3) Muntah
4) Suhu tubuh
dalam batas normal
Intervensi:
1) Jelaskan kepada
pasien tentag pentingnya cairan
R/: Agar pasien dapat mengetahui tentang pentingnya cairan dan dapat
memenuhi kebutuhan cairan.
2) Monitor dan
catat intake dan output cairan
R/: Untuk mengetahui keseimbangan intake da output cairan
3) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian antiemetic
R/: Untuk mengetahui pemberian dosis yang tepat
4) Kaji tanda dan
gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit
R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau
efek dari kehilangan cairan
5) Observasi
adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah
R/: Agar segera dilakukan tindakan/
penanganan jika terjadi syok
6) Berikan cairan peroral
pada klien sesuai kebutuhan
R/: Cairan peroral akan membantu
memenuhi kebutuhan cairan
7) Anjurkan kepada
orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
R/: Asupan cairan secara adekuat
sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh
8) Kolaborasi
pemberian cairan intravena
R/: Pemberian intravena sangat penting
bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang hilang
c. Gangguan pola eliminasi b/d proses peradangan pada usus halus
Tujuan : pola eliminasi sesuai dengan kebiasaan sehari-hari
Kriteria hasil : konsistensi normal
Intervensi:
1) Kaji pola eliminasi pasien
R/: Untuk mengetahui output dan dapat ditentukan intake yang sesuai
2) Berikan minuman oralit
R/: Untuk menyeimbangkan elektrolit
3) Kolaborasi dengan dokter dalam
obat
R/ : Untuk mengetahui dosis yang tepat menghentikan diare
4) Auskultasi bising usus
R/: Penurunan menunjukkan adanya
obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit
5) Selidiki keluhan nyeri abdomen
R/: Berhubungan dengan distensi gas
6) Observasi gerakan usus,
perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses
R/: Indikator kembalinya fungsi gi, mengidentifikasi ketepatan intervensi
7) Anjurkan makan makanan lunak,
buah-buahan yang merangsang bab
R/: Mengatasi konstipasi yang terjadi
8) Kolaborasi berikan pelunak feses,
supositoria sesuai indikasi
R/: Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan
d. Perubahan
nutrisi kurang dari yang dibutuhkan tubuh b/d mual, muntah, anoreksia
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Tidak demam
2) Mual berkurang
3) Tidak ada
muntah
4) Porsi makan
tidak dihabiskan
Intervensi:
1) Berikan makanan
yang tidak merangsang saluran cerna, dan sajikan dalam keadaan hangat
R/: Untuk menimbulkan selera pasien dan mengembalikan status nutrisi
2) Monitor dan
catat makanan yang dihabiskan pasien
R/ : Untuk mengetahui keseimbangan haluaran dan masukan
3) Kaji kemampuan
makan klien
R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi
selanjutnya
4) Berikan makanan
dalam porsi kecil tapi sering
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah
5) Beri nutrisi
dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat
6) Anjurkan kepada
orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai
R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan
klien
7) Anjurkan kepada
orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung gas/asam,
peda
R/: Dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan
menurunkan asupan nutrisi
8) Kolaborasi
berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi
R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu
mual/muntah
e. Intoleransi aktivitas terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam
hal nutrisi, eliminasi, personal hygiene b/d kelemahan dan imobilisasi
Tujuan : kebutuhan sehari-hari terpenuhi setelah diberi tindakan
keperawatan
Kriteria hasil :
1) Pasien
mengatakan tidak lemah
2) Tampak rileks
Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari
R/ : Untuk mengetahui tingkat kemampuan pasien
2) Bantu pasien dalam melakukan
aktivitas
R/ : Agar kebutuhan pasien dapat terpenuhi
f. Gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan : nyeri hilang/berkuran
Kriteria hasil :
1) Tidak ada keluhan nyeri
2) Wajah tampak tampak rileks
3) Ttv dalam batas normal
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat
dan lamanya nyeri
R/: Sebagai indikator dalam
melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri
dipersepsikan.
2) Berikan posisi yang nyaman sesuai
keinginan klien.
R/: Posisi yang nyaman akan
membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot.
3) Ajarkan tehnik
nafas dalam
R/: Tehnik nafas dalam dapat
merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri
4) Ajarkan kepada orang tua untuk
menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas hiburan yang tepat
R/: Meningkatkan relaksasi dan
pengalihan perhatian
5) Kolaborasi obat-obatan analgetik
R/: Dengan obat analgetik akan
menekan atau mengurangi rasa nyeri
g. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri, demam
Tujuan : pola tidur efektif
Kriteria hasil :
1) Melaporkan tidur nyenyak
2) Klien tidur 8-10 jam semalam
3) Klien tampak segar
Intervensi:
1) Kaji pola tidur klien
R/: Mengetahui
kebiasaan tidur klien, mengetahui gangguan yang dialami, memudahkan intervensi
selanjutnya
2) Berikan bantal yang nyaman
R/:
Meningkatkan kenyamanan meningkatkan pemenuhan istirahat tidur
3) Berikan lingkungan yang nyaman,
batasi pengunjung
R/: Mengurangi stimulus yang dapat mengganggu istirahat tidur
4) Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi
nafas dalam/masase punggung sebelum tidur
R/: Meningkatkan relaksasi
menstimulasi istirahat tidur yang nyaman
h. Pola napas tidak efektif
berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, dispnea.
Tujuan : jam pola napas efektif
Kriteria hasil :
1) Pola napas
efektif
2) Tidak terdapat
pernapasan cuping hidung
3) Tidak ada
keluhan sesak
4) Frekuensi
pernapasan dalam batas normal
Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman, dan
upaya pernapasan
R/: Pernapasan dangkal,
cepat/dispnea sehubungan dengan peningkatan kebutuhan oksigen
2) Selidiki perubahan kesadaran
R/: Perubahan mental dapat
menunjukkan hipoksemia dan gagal pernapasan
3) Pertahankan kepala tempat tidur
tinggi. Posisi miring
R/: Memudahkan pernapasan dengan
menurunkan tekanan pada diafragma
4) Dorong penggunaan teknik napas
dalam
R/: Membantu memaksimalkan ekspansi paru
5) Kolaborasi berikan tambahan
okseigen sesuai indikasi
R/ : Perlu untuk mengatasi/mencegah hipoksia.
i. Perubahan persepsi
sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan
: persepsi sensori dipertahankan
Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi gangguan kesadaran
Intervensi:
1) Kaji status neurologis
R/: Perubahan
endotoksin bakteri dapat merubah elektrofisiologis otak
2) Istirahatkan hingga suhu dan
tanda-tanda vital stabil
R/: Istirahat
yang cukup mampu membantu memulihkan kondisi pasien
3) Hindari aktivitas yang berlebihan
R/: Aktivitas
yang berlebihan mampu memperburuk kondisi dan meningkatkan resiko cedera
4) Kolaborasi kaji fungsi
ginjal/elektrolit
R/:
Ketidakseimbangan mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perbaikan sebelum
intervensi terapeutik dapat dimulai
j. Kelemahan
berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring
Tujuan
: Tidak terjadi kelemahan
Kriteria hasil :
1) Klien mampu melakukan aktivitas
sehari-sehari secara mandiri
Intervensi:
1) Kaji tingkat intoleransi klien
R/: Menetapkan intervensi yang tepat
2) Anjurkan keluarga untuk membantu
memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari
R/: Mengurangi penggunaan energi yang berlebihan
3) Bantu mengubah posisi tidur
minimal tiap 2 jam
R/: Mencegah dekubitus karena tirah baring dan meningkatkan kenyamanan
4) Tingkatkan kemandirian klien yang
dapat ditoleransi
R/: Meningkatkan aktivitasringan dan mendorong kemandirian sejak dini
k. Kecemasan orang tua berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan kondisi anaknya.
Tujuan
: kecemasan teratasi
Kriteria hasil :
1) ekspresi tenang
2) orang tua klien tidak lagi sering
bertanya tentang kondisi anaknya
intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan yang
dialami orang tua klien
R/: Untuk mengeksplorasi rasa
cemas yang dialami oleh orang tua klien yang menjadi indikaor untuk menentukan
intervensi selanjutnya
2) Beri penjelasan pada orang tua
klien tentang penyakit anaknya
R/: Meningkatkan pengetahuan
orang tua klien tentang penyakit anaknya
3) Beri kesempatan pada orang tua
untuk mengungkapkan perasaannya
R/: Mendengarkan keluhan orang tua agar merasa lega dan merasa diperhatikan
sehingga beban yang dirasakan berkurang
4) Libatkan orang tua klien dalam
rencana keperawatan terhadap anaknya
R/: Keterlibatan orang tua dalam perawatan anaknya dapat mengurangi kecemasan
5) Berikan dorongan spiritual
R/: Meyakinkan orang tua klien
bahwa selain perawatan/ pengobatan masih ada yang lebih kuasa yang dapat
menyembuhkan
Daftar Pustaka
Arif mansjoer, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Penerbit
media aesculapius.
Jakarta : fkui
Donna l.wong, dkk. 2002 .buku ajar leperawatan pediatrik ed 6.
Jakarta : egc
Herdman t. Heather. 2010. Diagnosis keperawatan. Jakarta : egc
Wong, dona l. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. Jakarta : egc